Melihat Kesederhanaan Fatimah, Istri Khalifah
Umar
Sekarang sudah memasuki
puasa bulan ke-8. Puasa tahun kemarin saya masih bersama ayah, ibu, dan kedua
adik ku. Tahun ini alhamdulllah sudah bersama suami. Kami menikah tanggal 28
oktober 2012. Hari-hari kami lalui bersama. Perubahan status ku sekarang, aku
menjadi seorang istri dari laki-laki yang diciptakan oleh Allah untukku. Di bulan
ramadhan ini hamba berdo’a. “ ya Allah jadikan hamba istri yang solehah,
berikanlah kesehatan dan karunia-Mu untuk suamiku, mudahkan urusan suamiku, dimana
pun dia berada jaga dia ya Allah, berkahi rumah tangga kami, damaikan rumah
tangga kami, lapangkan rezeki kami, berikan kami anak-anak yang bisa menghiasi
rumah tangga kami, anak-anak yang sholeh-sholehah, dan yang diridhoi-Mu. Sayangilah
ayah, ibu, bibi, dan bengkila serta saudara-saudara kami. Semoga kami selalu
dalam perlindungan-Mu dan jadikan kami sebagai calon penghuni surga- Mu”.
Tak terasa Hampir 9
bulan usia pernikahan kami berjalan.aku harus instrupeksi diri, bagaimana
selama ini aku menjalankan profesi aku sebagai istri. “suamiku maafkan semua kekhilafanku,
saat aku emosi, saat aku berdebat denganmu, saat aku banyak enggak tunduk
dengan mu, sikap aku yang masih banyak manja denganmu, saat aku begitu
cemburuan, saat aku belum bisa membantu banyak, keterbatasan ilmu ku. dari
lubuk hati ku, aku sangat menyayangimu dan mencintaaimu karena Allah, semoga Allah
menciptakan engkau sebagai suamiku di dunia dan di akhirat”.
Saat aku membaca
tulisan, ada kisah yang membuatku gemetar di hati, “seorang istri yang diridhai
Allah”. Aku cuplik kisah tersebut”
Dengan suara lirih Umar bin Abdul Aziz
berkata dengan lembut dan penuh kasih-sayang kepada sang isteri tercinta,
“Fatimah, isteriku…! Bukankah engkau telah
tahu apa yang menimpaku? Beban yang teramat dipikulkan kepundakku, menjadi
nakhoda bahtera yang dipenuhi, ditumpangi oleh umat Muhammad SAW. Tugas ini
benar-benar menyita waktuku hingga hakku terhadapmu akan terabaikan. Aku
khawatir kelak engkau akan meninggalkanku apabila aku akan menjalani hidupku
yang baru, padahal aku tidak ingin berpisah denganmu hingga ajal menjemputku.”
“Lalu, apa yang akan engkau lakukan
sekarang?” tanya Fatimah.
“Fatimah…! Engkau tahu bukan, bahwa semua
harta, fasilitas yang ada ditangan kita berasal dari umat Islam, aku ingin
mengembalikan harta tersebut ke baitul mal, tanpa tersisa sedikitpun kecuali
sebidang tanah yang kubeli dari hasil gajiku sebagai pegawai, disebidang tanah
itu kelak akan kita bangun tempat berteduh kita dan aku hidup dari sebidang
tanah tersebut. Maka jika engkau tidak sanggup dan tidak sabar terhadap rencana
perjalanan hidupku yang akan penuh kekurangan dan penderitaan maka
berterus-teranglah, dan sebaiknya engkau kembali ke orang tuamu!” jawab Umar
bin Abdul Aziz.
Fatimah kembali bertanya,”Ya suamiku…apa yang
sebenarnya membuat engkau berubah sedemikian rupa?”
“Aku memiliki jiwa yang tidak pernah puas,
setiap yang kuinginkan selalu dapat kucapai, tetapi aku menginginkan sesuatu
yang lebih baik lagi yang tidak ternilai dengan apapun juga yakni surga, surga
adalah impian terakhirku,” jawab Umar bin Abdul Aziz lagi.
Aneh. Fatimah yang notabene merupakan wanita
yang terbiasa hidup mewah, dengan fasilitas yang disediakan dan pelayanan yang
super maksimal, tidak kecewa mendengar keputusan suaminya ia. Ia tidak
menunjukan kekesalan dan keputus asaan. Justeru dengan suara yang tegar, mantap
ia menegaskan, “Suamiku…! Lakukanlah yang menjadi keinginanmu dan aku akan
setia disisimu baik dikala susah atau senang hinga maut memisahkan kita.”
Betapa mulia hati Fatimah, seorang istri yang
bisa membuat suaminya menjadi nyaman. Ya allah tuntun hamba semoga hamba bisa
meniru akhlak Fatimah.
sungguh kisah ini sangat menyentuh kalbu.